“INTERAKSI SOSIAL DAN SOLIDARITAS DI KALANGAN MASYARAKAT”

“INTERAKSI SOSIAL DAN SOLIDARITAS DI KALANGAN MASYARAKAT”

 

Oleh: Sahrul Takim, S.Pd.I., M.Pd.I

 

 

ABSTRAK

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi membutuhkan manusia yang lainnya. Untuk terciptanya kehidupan bersama antara manusia maka sangat penting untuk adanya interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan interaksi sosial dan solidaritas di kalangan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk, yang masing-masing mempunyai cara hidup. Terdapat lebih dari 300 suku bangsa di Indonesia yang tersebar dalam kurang lebih 13.000 pulau di mana setiap suku itu memiliki bahasa dan identitas kultural berbeda yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia.

Peningkatan interaksi Sosial dalam sebuah masyarakat di awali dengan pembentukan suatu kelompok sosial di lingkungan masyarakat melalui adanya kepentingan yang Sama (Common Interest) dan keturunan (Common Ancestry) daerah dan ciri fisik yang sama yang menjadi dasar persatuan dan tali persaudaraan bagi manusia. Sementara solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan perasaan moral dan kepercayaan bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional. Solidaritas terbagi atas dua yaitu solidaritas mekanis karena seluruh orang adalah generalis sebaliknya solidaritas organis karena pembagian kerja terspesialisasi dalam masyarakat modern semakin diferensiasi dan kompleksitasnya dalam perkembangan sosial.

 

ABSTRACT

As social beings human beings can not live alone but need other human beings. To create a life together between humans is very important for the existence of social interaction. Social interaction is the key to all social life. This paper tries to describe social interaction and solidarity among Indonesian people as a plural society, each of which has a way of life. There are more than 300 ethnic groups in Indonesia spread over approximately 13,000 islands where each tribe has a distinct language and cultural identity scattered throughout the Indonesian archipelago.
Increased social interaction in a society begins with the formation of a social group within the community through the existence of Common Interest and the common ancestry of the region and the same physical characteristics that form the basis of unity and brotherhood for human beings. While solidarity points to a state of inter-individual and or group based on shared moral feelings and beliefs, which is reinforced by emotional experience. Solidarity is divided into two namely mechanical solidarity because all people are generalists on the contrary to organic solidarity because the division of labor is specialized in modern society increasingly differentiation and its complexity in social development.

 

  1. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki ketergantungan sosial untuk senantiasa hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sebagai sosial animal atau hewan sosial. Karena sejak dilahirkan manusia telah memiliki keinginan pokok, yaitu menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.[1]

Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi membutuhkan manusia yang lainnya. Dalam menjalani kehidupan antara manusia yang satu dengan yang lain saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk terciptanya kehidupan bersama antara manusia maka sangat penting untuk adanya interaksi sosial antara satu dengan yang lain. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, kemajemukan ini ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sendiri-sendiri sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa lainnya, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia dan berada di bawah naungan sistem nasional dengan kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.[2]

Geertz dalam Nasikun, menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 300 suku bangsa yang ada di Indonesia di mana setiap suku itu memiliki bahasa dan identitas kultural berbeda yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Tiap etnik umumnya menempati wilayah geografis tertentu yang merupakan suku bangsa asli dan dikategorikan sebagai etnik pribumi.[3] Bahkan Skinner, menyebutkan bahwa adanya lebih 35 suku bangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan adat yang tidak sama.[4] Sedangkan Koentjaraningrat, menyatakan bahwa sampai saat ini berapakah sebenarnya masing-masing jumlah suku bangsa di Indonesia, masih sukar ditentukan secara pasti. Hal ini antara lain disebabkan oleh ruang lingkup istilah konsep suku bangsa dapat mengembang atau menyempit, yaitu tergantung subyektivitas.[5]

Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 13.000 pulau yang terserak di suatu daerah equator sepanjang kurang lebih 3.000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1.000 mil dari Utara ke Selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia.[6].

Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai emigran dari daerah yang sekarang kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi, keadaan geografis serupa itu telah memaksa mereka untuk harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lain. Isolasi geografis yang demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi suatu kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka masng-masing sebagai suatu jenis tersendiri.[7]

Adanya perbedaan kebudayaan diantara masing-masing suku bangsa di Indonesia, menurut  Suparlan , pada khakekatnya disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing dan oleh adaptasi terhadap lingkungan masing-masing. Kemajemukan masyarakat Indonesia  menjadi lebih kompleks lagi karena adanya sejumlah warga negara/masyarakat Indonesia yang tergolong sebagai keturunan orang asing yang hidup di dalam dan menjadi sebagian dari masyarakat Indonesia. Mereka ini mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada pada umumnya yang dipunyai orang Indonesia.[8]

Dalam menjalankan kehidupan bersama, berbagai etnik yang berbeda latar belakang kebudayaan tersebut akan terlibat dalam suatu hubungan timbal balik yang disebut interaksi sosial yang pada gilirannya akan berkembang kepada interalasi sosial. Interaksi sosial merupakan syarat mutlak bagi terjadinya aktifitas sosial. Dalam aktifitas sosial akan terjadi hubungan sosial timbal balik (social interrelationship) yang dinamik antara orang dengan orang, orang dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok.

Soekanto, menyatakan perubahan dan perkembangan masyarakat yang mewujudkan segi dinamiknya, disebabkan karena warganya mengalami hubungan satu dengan lainnya, baik dalam bentuk perseorangan maupun kelompok sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadi proses sosial yaitu cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorang dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut.[9]

Suatu hubungan sosial akan lahir dari interaksi yang senantiasa berjalan dengan baik. Interaksi sosial pada dasarnya adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Intinya bahwa dalam proses interaksi ada saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain atau (give and take) melalui berbicara atau saling menukar tanda yang dapat menimbulkan perubahan dalam perasaan dan kesan dalam pikiran yang selanjutnya menentukan tindakan yang akan kita lakukan.[10]

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan manusia lain dalam kehidupannya. Dalam rangkaian perjalanan hidupnya manusia secara alamiah tidak dapat hidup sendiri, manusia senantiasa berinteraksi dengan manusia yang lain sehingga dengan sendirinya manusia telah terlibat dalam kelompok. Di dalam kelompok inilah proses sosialisasi berlangsung dan manusia belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hampir dari seluruh aktivitas manusia dihabiskan melalui interaksi dalam kelompok, belajar dalam kelompok, dan sebagainya. Dengan adanya berbagai kegiatan kelompok tersebut maka manusia menghabiskan seluruh waktunya dalam berbagai keanggotaan dalam kelompok. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam setiap perkembangannya manusia membutuhkan kelompok.

Hal ini sesuai dengan pandangan Yusmar Yusuf  bahwa kelompok adalah sebagai wadah/wahana manusia untuk melangsungkan hidupnya, karena dengan kelompok manusia dapat memenuhi kebutuhan, dapa mengembangkan diri, mengembangkan potensi serta aktualisasi diri. Pandangan ini bertolak dari pemikiran bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang tetap memiliki keinginan untuk bergabung dengan orang lain atau keinginan berkelompok. Dalam berbagai kelompok sosial di mana manusia menjadi anggota– anggotanya seperti keluarga, organisasi profesi, organisasi kedaerahan, organisasi kemahasiswaan, dan lain sebagainya, setiap anggotanya saling berinteraksi antara satu dengan yang lain baik melalui kontak langsung maupun secara tidak langsung. Proses solidaritas sosial ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama. Persoalan yang sangat penting dalam kehidupan berkelompok agar tetap menjaga eksistensi sebuah kelompok adalah bagaimana solidaritas sosial yang terbangun di antara anggota kelompok tersebut sebagai suatu keseluruhan.[11]

Pola-pola hubungan sosial antar etnik dikemukakan Benton dalam Martodirdjo beberapa pola hubungan tersebut masing-masing ditandai oleh spesifikasi dalam proses kontak sosial yang terjadi, yaitu akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme dan integrasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akulturasi terjadi jika dua kelompok etnik mengadakan kontak dan saling pengaruh mempengaruhi. Dominasi terjadi jika suatu kelompok etnik menguasai kelompok lain. Paternalisme yaitu merupakan hubungan antar kelompok etnik yang menampakkan adanya kelebihan satu kelompok terhadap kelompok yang lain, tanpa adanya unsur dominasi.[12]

Pluralisme yaitu merupakan hubungan yang terjadi diantara sejumlah kelompok etnik yang di dalamnya mengenal adanya pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berkaitan. Integrasi adalah pola hubungan yang menekankan persamaan dan bahkan saling mengintegrasikan antara satu kelompok dengan yang lain. Pola-pola hubungan itu hanya terjadi apabila orang perorang atau kelompok-kelompok manusia saling bekerja sama, saling berbicara untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam hubungan  sosial berbagai komunitas yang berbeda latar belakang kebudayaan tersebut, akan menghasilkan dua kemungkinan yaitu baik yang bersifat positif maupun negatif. Interaksi sosial yang positif akan timbul manakala pertemuan berbagai etnik dalam masyarakat majemuk tersebut  mampu menciptakan suasana hubungan sosial yang harmonis. Interaksi sosial yang bersifat negatif muncul manakala dalam melakukan hubungan sosial yang tidak harmonis karena adanya perbedaan sikap dalam kehidupan bersama.

Dalam kelompok harus muncul kesadaran kolektif sebagai anggota kelompok sehingga antara sesama anggota kelompok tumbuh perasaan– perasaan atau sentiment atas dasar kesamaan sehingga dapat tercipta rasa solidaritas sosial dan bisa mencapai tujuan bersama dalam organisasi. Pentingnya studi solidaritas sosial dalam sosiologi telah ditunjukkan dengan studi-studi yang pernah dilakukan oleh para ahli misalnya Emile Durkheim yang kemudian melahirkan teori “solidaritas sosial”. Demikian pula dengan Sorokin, Simmerman, dan Galpin pernah pula melakukan studi tentang solidaritas kelompok. Dari hasil studi tersebut mereka menekankan bahwa suatu ikatan kelompok sosial hanya ada apabila hidup dan berkembang sebagai suatu kesatuan.[13]

Dari penjabaran diatas yang menjadi masalah yang perlu di kemukakan  adalah bagaimana Peningkatan Rasa Solidaritas Masyarakat dapat di wujudkan? dan Bagaimana merajut Ikatan Sosial di Kalangan Masyarakat?

 

  1. Interaksi di Kalangan Masyarakat.

Interaksi Sosial adalah suatu hubungan yang dinamis antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Peningkatan interaksi Sosial dalam sebuah masyarakat di awali dengan pembentukan suatu kelompok sosial di lingkungan masyarakat. Ada beberapa faktor pendorong pembentukan kelompok sosial diantaranya:[14]

  1. Kepentingan yang Sama (Common Interest)

Kepentingan yang sama menjadi pendorong sekumpulan manusia untuk membentuk sebuah kelompok sosial. Berbagai kelompok sosial berdasarkan kesamaan kepentingan akhir-akhir ini semakin berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin modern, misalnya kelompok olahragawan, kelompok arisan, dan lain-lain.

  1. Kesamaan Darah dan Keturunan (Common Ancestry)

Keturunan menjadi dasar persatuan dan tali persaudaraan yang paling kuat bagi manusia. Mereka yang merasa satu keturunan dan tinggal dalam suatu masyarakat yang dianggap mempunyai persamaan latar belakang suku bangsa maupun nenek moyang kemudian membentuk sebuah kelompok sosial misalnya kelompok keturunan India, kelompok keturunan Tiongkok, dan sebagainya.

  1. Daerah atau Wilayah yang Sam

Kelompok sosial terbentuk atas dasar daerah atau wilayah yang sama ditinggali cenderung membentuk organisasi yang mantap dan kelompok sosial yang kuat. Sebagai contoh adalah paguyuban masyarakat Padang yang tinggal di Jawa.

  1. Ciri Fisik yang Sama

Warna kulit, warna rambut dan bentuknya, bentuk hidung, mata dan ciri fisik lainnya merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya kelompok sosial. [15]

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa interaksi sosial  akan menghasilkan berbagai macam tanggapan dan penafsiran baik positif maupun negatif. Interaksi sosial yang bersifat positif akan timbul apabila tindakan dalam interaksi mampu menciptakan suasana hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Kondisi ini bisa dicapai jika ada rasa saling menghargai dan mengakui keberadaan masing-masing individu atau etnik. Interaksi yang bersifat negatif apabila tindakan-tindakan dalam interaksi menimbulkan kondisi ketidakserasian atau disharmoni dalam kelompok atau masyarakat yang pada giliran tidak mustahil menimbulkan konflik.

 

 

 

  1. Solidaritas Masyarakat Indonesia
  2. Solidaritas Masyarakat

Manusia sebagai makhluk sosial  dalam kehidupannya pada dasarnya dalam untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan hidupnya membutuhkan manusia lain di sekelilingnya. Atau dengan kata lain bahwa dalam hidupnya manusia tidak terlepas hubungannya dengan manusia lainnya, sehingga hubungan antar manusia tersebut merupakan kebutuhan objektif.

Solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.[16]

Lebih jauh untuk memahami mengenai dengan Solidaritas Masyarakat atau di kalangan sosial maka Durkheim membagi dua tipe solidaritas yaitu solidaritas Mekanis dan Organis. Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas dan juga tipe pekerjaan yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memilki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.[17]

Lebih tepatnya dalam dinamika lingkungan sosial kita menemukan tipe masyarakat Primitif dan masyarakat Moderan. Durkheim juga berpendapat bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat yaitu pemahaman norma dan kepercayaan bersama. Peningkatan pembagian kerja menyebabkan menyusutnya kesadaran kolektif.

Kesadaran kolektif lebih terlihat dalam masyarakat yang ditopang oleh solidaritas mekanik daripada masyarakat yang ditopang oleh solidaritas organik. Lain halnya dengan Masyarakat modern lebih mungkin bertahan dengan pembagian kerja dan membutuhkan fungsi-fungsi yang yang dimiliki orang lain daripada bertahan pada kesadaran kolektif. Oleh karena itu meskipun masyarakat organik memiliki kesadaran kolektif, namun dia adalah bentuk lemah yang tidak memungkinkan terjadinya perubahan individual.

Dari pemahaman di atas maka kita bisa menilai bahwa Masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif meleputi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, dia sangat diyakini, sangat mendarah daging, dan isinya sangat bersifat religious. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok, tidak dirasakan terlalu mengikat, kurang mendarah daging, dan isinya hanya kepentingan individu yang lebih tinggi dari pedoman moral.

Menurut Abu Ahmadi dalam Arkanudin, hubungan manusia dengan lingkungan meliputi: (1) individu dapat bertentangan dengan lingkungannya; (2) individu dapat menggunakan lingkungan; (3) individu dapat berpartisipasi dengan lingkungan dan; (4) individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.[18]

Untuk tertibnya hubungan-hubungan antar manusia diperlukan pengaturan agar kehidupan bersama dapat tentram, damai dan harmonis. Sebab dalam hubungan sosial tersebut akan terjadi aksi dan reaksi yang tidak selalu harmoni tetapi dapat juga terjadi pertentangan-pertentangan.

Harsojo, mengatakan bahwa koperasi antar manusia memerlukan syarat ketertiban (keteraturan). Hal ini disebabkan karena: (1) manusia individual atau kelompok berusaha sekeras-kerasnya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan dapat jaminan keamanan, jika mungkin mencapai suatu tingkatan kemakmuran; (2) untuk mendapatkan kondisi yang esensial bagi kelangsungan hidup dan keamanan diperlukan adanya ketertiban sosial dalam derajat tinggi; (3) untuk mencapai derajat ketertiban sosial yang tinggi diperlukan adanya suatu pengaturan sosial kultural, serta mekanisme yang dapat dipergunakan dalam pengaturan, bagi pelaksanaan pengaturan tersebut.[19]

Berdasarkan atas uraian di atas bahwa untuk menjaga agar terjalin hubungan sosial yang serasi baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungan alam sekitarnya maka dalam melakukan interaksi diperlukan suatu aturan.

Lebih jelas lagi penulis menyimpulkan bahwa solidaritas sosial menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok di masyarakat berdasarkan pada kuatnya ikatan perasaan dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menunjuk pada kekompakan untuk berbagi dan saling meringankan beban pekerjaan satu sama lain.

Dengan demikian solidaritas membutuhkan interaksi sosial yang dapat berlangsung antara: (1) orang perorang dengan kelompok atau kelompok dengan orang perorang (there may be to group or group to person relation); (2) kelompok dengan kelompok (there is group to group interaction); (3) orang perorangan (there is person to person interaction). Dalam melakukan interaksi tersebut diharapkan terjadi penyesuaian (adaptasi) dengan lingkungannya.

 

  1. Bentuk-BentukSolidaritas
  2. Gotong-Royong

Bentuk solidaritas yang banyak kita temui di masyarakat misalnya adalah `gotong-royong. gotong-royong adalah rasa dan pertalian kesosialan yang sangat teguh dan terpelihara.[20] Gotong-royong lebih banyak dilakukan di desa daripada di kota di antara anggota-anggota golongan itu sendiri. Kolektivitas terlihat dalam ikatan gotong-royong yang menjadi adat masyarakat desa.

Dari penjelasan sederhana di atas maka kita bisa berpendapat bahwa Gotong-royong menjadi bentuk solidaritas yang sangat umum dan eksistensinya di masyarakat juga masih sangat terlihat hingga sekarang, bahkan Negara Indonesia ini di kenal sebagai bangsa yang mempunyai jiwa gotong-royong yang tinggi. Gotong-royong masih sangat dirasakan manfaatnya, walaupun kita telah mengalami perkembangan jaman, yang memaksa mengubah pola pikir manusia menjadi pola pikir yang lebih egois, namun pada kenyataanya manusia memang tidak akan pernah bisa untuk hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan dari orang lain untuk kelangsungan hidupnya di masyarakat. Solidaritas kita sebagai mahluk sosial yang hidup bermasarakat bisa terbentuk bilamana adanya Gotong Royong.

  1. Kerjasama.

Selain gotong-royong yang merupakan bentuk dari solidaritas sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah proses terakhir dalam penggabungan. Proses ini menunjukan suatu golongan kelompok dalam hidup dan geraknya sebagai suatu badan dengan golongan kelompok yang lain yang digabungkan itu. Kerjasama merupakan penggabungan antara individu dengan individu lain, atau kelompok dengan kelompok lain sehingga bisa mewujudkan suatu hasil yang dapat dinikmati bersama.[21]

Kerjasama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan yang menyingung secara tradisional atau institusional yang telah tertanam didalam kelompok . Ada lima bentuk kerjasama yaitu sebagai berikut:

 

  • Kerukunan yang mencakup        gotong-royong            dan     tolong menolong.
  • Bergaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau
  • Kooptasi, yaitu suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan dalam suatu organisasi.
  • Koalisi, yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang
  • Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek tertentu. .[22]

Sederhananya, bila seseorang atau sekelompok orang memiliki musuh atau lawan yang sama maka perasaan solidaritas di antara mereka juga akan semakin kuat dan kompak, jadi intensitas kerjasama di antara mereka juga lebih tinggi, dikarenakan persamaan tujuan yang ada diantara mereka. Kerjasama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai perasaan tidak puas karena keinginan-keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi karena adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok itu. Keadaan tersebut menjadi lebih tajam lagi apabila kelompok demikian merasa tersinggung atau dirugikan sistem kepercayaan atau dalam salah satu bidang sensitif kebudayaan.

 

  1. Kesimpulan

Berdasarkan Sajian materi yang teruai maka penulis dapat menyimpulkan beberapa poin di antaranya:

  1. Solidaritas menunjukkan pada suatu keadaan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas terbagi atas dua yaitu Mekanis dan O Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Sebaliknya, masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru karena adanya perbedaan yang ada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memilki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
  2. Peningkatan Interaksi di lakukan melalui hubungan timbal balik atau aksi reaksi diantara masyarakat majemuk, berupa suatu bentuk kerjasama pada masyarakat yang meliputi aktivitas gotong royong, tolong menolong dan musyawarah. Selain rasa kepatuhan yang didasarkan kepada perasaan moral, masyarakat juga mengenal seperangkat nilai yang intinya memupuk rasa solidaritas atau disebut nilai yang mempersatukan (assosiatif) yang mempunyai butir-butir positif yaitu persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan dan kegotong-royongan. Peningkatan interaksi sosial di lingkungan masyarakat di betuk dari kepentingan yang sama, keamanan daerah dan keterunan, daerah yang sama dan ciri fisik yang sama.

 

DAFTAR BACAAN

 

Doyle Paul Johnson. Teori Sosilogi Klasik dan Modern, Jakarta: PT. Gramedia. Pustaka. 1980,

 

Hassan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993,

Huraerah, Abu dan Purwanto. Dinamika Kelompok Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Refika Aditama. 2006,

 

George Ritzer, Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012,

 

Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia. 1958

 

Lawang, Robert M.Z, Pengantar Sosiologi. Jakarta: Karunika, 1985

 

Mansyur, Cholil, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaya : Usaha Nasional 1980

 

Liem, Tjong Tjiat, Ethnicity and Modernization in Indonesian Education: Comparative Study of Pre-Independence and Post Indenpedence Periods, Disertasi, University of Wisconsin  1968

Nasikun Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: Rajawali 1991

 

Soekanto, Pengantar Sosiologi Kelompok. Bandung: Remadja Karya, 2007

­_______, Soerjono Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial,  Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990

Sributani, Tomatsu et al. Etnic Stratification: Comprative Approach, London: The Macmillan Company and Collier Macmillan Limited. 1963

 

Suparlan, Parsudi  Interaksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan  Depdikbud, 1989

Syani, Abdul, Sosiologi Skematika,Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007

[1] Soekanto, Pengantar Sosiologi Kelompok. (Bandung: Remadja Karya, 2007), hlm. 101.

[2] Parsudi Suparlan, Interaksi Antar Etnik di Beberapa Propinsi di Indonesia,( Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan  Depdikbud, 1989). Hal. 4

[3] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali 1991). Hlm. 29

[4] Ibid, hlm. 5-6

[5] Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia. 1958.), hlm. 346-347

[6] Tjong Tjiat Liem, Ethnicity and Modernization in Indonesian Education: Comparative Study of Pre-Independence and Post Indenpedence Periods, (Disertasi, University of Wisconsin  1968), hlm. 17-18

[7] Tomatsu Sributani,  et al. Etnic Stratification: Comprative Approach, (London: The Macmillan Company and Collier Macmillan Limited. 1963) hal.39-40

[8] Parsudi Suparlan, Interaksi Antar… Op.Cit. hal 4-5

[9]Soerjono Soekanto. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990), hal. 66

[10] Abdul Syani. Sosiologi Skematika,Teori, dan Terapan. (Jakarta: Bumi Aksara2007), hlm. 123.

[11] Abu Huraerah dan Purwanto. Dinamika Kelompok Konsep dan Aplikasi. (Jakarta: Refika Aditama. 2006.)

[12] Haryo. S. Martodirdjo, Hubungan Antar Etnik, (Lembang Bandung: Sespim Polri. 2000) hal. 9

[13] Robert M.Z Lawang, Pengantar Sosiologi. ( Jakarta: Karunika, 1985). hlm. 113

[14] Anonim. (2014). “Kelompok Sosial”. [Online]. Tersedia

:http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompoksosial di akses pada tanggal 21 November 2017

[15] Cholil Mansyur,. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaya : (Usaha Nasional, 1980), hlm. 56.

[16] Doyle Paul Johnson. Teori Sosilogi Klasik dan Modern, Jakarta: PT. Gramedia. Pustaka, 1980), hlm. 122.

[17] George Ritzer.. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). Hlm. 90.

[18] Arkanudin, Perubahan Sosial Masyarakat Peladang Berpindah, Studi Kasus pada orang  Dayak Ribun yang berada di sekitar PIR-Bun Kelapa Sawit Parindu Sanggau Kalimantan Barat, (Bandung: Disertasi Program Doktor Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2005), hlm. 63

[19] Harsojo, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Bina Cipta Harsojo 1977), hlm. 128

[20] Hassan Shadily, 1993, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, Hlm 205

[21] Ibid , Hlm 143.

[22] Soerjono Soekanto. Pengantar Sosiologi Kelompok. (Bandung: Remadja Karya. 2006.) hlm. 66