DAKWAH : Sarana Transformasi Perubahan Kehidupan Sosial

A. Latar Belakang

Perubahan sosial (social change) adalah terminologi inti bahasan dari sebuah disiplin ilmu Sosiologi. Term ini mengacu kepada dinamika kehi­dup­an individu baik saat berhubungan dengan sesama maupun saat ber­hu­bungan dengan alam sekitarnya. Perubahan sosial diyakini oleh para ahli dalam perspektif yang beragam. Ada yang meyakini bahwa perubahan itu selalu berjalan dalam konteks yang linear.

Auguste Comte (1877), misalnya, meyakini bahwa kehidupan manusia itu berjalan di atas hukum-hukum yang sudah pasti, baku, tetap, dan tiada toleransi untuk perubahan. Senada dengan itu, Herbert Spencer (1892) meyakini bahwa struktur sosial berjalan secara evolusioner ke arah ukuran yang lebih besar, kemajemukan, keter­paduan dan kepastian, sehingga suatu masyarakat menjadi suatu bangsa yang beradab (Zainuddin Maliki, 2003:55-66).

Perubahan nilai agama dan budaya menimbulkan ketidak nyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak penyakit masyarakat yang semakin parah dari hari ke hari, seperti kemiskinan, pencurian, alkohol, narkoba, seks bebas, dll. Upaya mengantisipasi masalah ini tidak bisa lagi dilakukan melalui dakwah konvensional, hanya melalui mimbar. Namun dakwah harus menyentuh mereka secara langsung dengan cara-cara baru. Salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan dakwah yang memiliki inovasi. Salah satu bentuk inovasi yang dapat dilakukan adalah melalui dakwah yang dinamis dan lebih menerapkan pendekatan terhadap hal-hal yang lebih modern.

Kemajuan zaman modern membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak positif maupun dampak negatif yang mendominasi. Kemajuan yang telah merambah berbagai aspek kehidupan manusia, baik itu sosial, ekonomi, budaya dan politik, menuntut individu untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi secara cepat dan aman. Simbol-simbol zaman modern yang ditampilkan oleh peradaban perkotaan dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan perubahan lingkungan yang cepat telah menciptakan kesenjangan antara manusia dengan lingkungan sosialnya.

Realitas ini kemudian melahirkan berbagai gambaran tentang kondisi manusia modern yang sarat dengan persoalan fisik. Tokoh psikologi manusia, Rollo May, berpendapat bahwa :

Manusia modern adalah manusia yang terkurung, yaitu manusia yang telah kehilangan makna hidup. Dia selalu menderita kecemasan dan tidak bisa memilih jalan hidup yang dia inginkan. Sosiolog menyebut kondisi manusia modern sebagai gejala keterasingan (Burhani, 2002).

Perubahan sosial dianggap sebagai sebuah fenomena yang bersifat problematik sampai sekarang. Perubahan sosial yang dimaksud dalam aktivitas dakwah adalah perubahan yang terencana (planned changed). Dalam hal ini dakwah gerakan sosial yang berhasil mereformasi masyarakat adalah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.

Saat ini, dunia dakwah mengalami tantangan yang semakin berat terutama sejak berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin kompleksnya masalah kemasyarakatan yang dihadapi oleh manusia. Disisi lain, perkembangan media komunikasi yang semakin modern tampaknya akan sangat membantu aktifitas dakwah Islam. Peluang dakwah Islam akan semakin terbuka lebar ketika para da’I (juru dakwah) mampu memanfaatkan media massa dengan meminimalisasi dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari media yang ada.

Secara garis besar, dakwah Rasul mencakup berbagai aspek, di antaranya yaitu penguatan aspek sosio-religius berupa pemantapan akidah umat yang dimulai dengan pembangunan masjid, dan penguatan sosio-politik dan sosio-ekonomi dengan penerapan perintah zakat dan pelarangan riba serta mendorong etos kerja.[1]  Oleh karena itu, perubahan di abad modern ini dirasa akan lebih sulit, karena perubahan di banyak aspek, baik teknologi maupun tekstur masyarakat modern sekarang ini memerlukan kematangan rencana dan metode yang sistematis.

Oleh karena itu pula, kita membutuhkan bentuk atau sentuhan yang efektif yang mampu kembali ke dimensi manusia. Salah satunya dapat diawali dengan kegiatan dakwah Islam untuk kemanusiaan (Karim dkk, 2021). Dakwah sebagai gagasan dan gerakan yang menekankan prinsip cinta ma’ruf nahi munkar dapat memasuki spektrum aktivitas manusia yang sangat luas dan kompleks. Dakwah harus menjadi suluh dengan fungsi penyeimbang dan memberi arah pada kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, suluh berarti penerang (Karim dkk, 2019).

Dengan demikian, salah satu tugas penting seorang da’i dalam mengartikulasikan dan mengomunikasikan pesan-pesan dakwahnya sehingga pesan dan tujuan dakwahnya dapat tercapai adalah tidak hanya memahami dan mengetahui materi-materi dakwah yang disampaikan, tetapi juga mengerti dan memahami situasi dan realitas masyarakatnya.

 

[1] AB Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016), 179.

B. Pengertian Dakwah

Dakwah Islam adalah upaya orang-orang beriman untuk mempengaruhi dan mengajak umatnya mengikuti ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan. Menurut Amrullah Ahmad, untuk mencapai tujuan tersebut, keimanan manusia harus diaktualisasikan dan dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan yang rutin dilakukan pada dataran realitas individu dan sosial budaya dengan menggunakan metode-metode tertentu (A. Ahmad, 1985).

“Da’wah” ditinjau dari segi bahasa berarti: panggilan, seruan atau ajakan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa Arab disebut mashdar. Sedangkan bentuk kata kerja (fi’il) dari kata ini antara lain adalah: memanggil, menyeru atau mengajak (Da’a Yad’u, Da’watan). Orang yang berdakwah biasa disebut dengan Da’i dan orang yang menerima dakwah atau orang yang didakwahi disebut dengan Mad’u.[1]

Makna “dakwah” juga berdekatan dengan konsep ta’lim, tadzkir, dan tashwir. Oleh karena itu, setiap konsep tersebut mempunyai makna, tujuan, sifat, dan objek yang berbeda, namun substansinya sama yaitu menyampaikan ajaran Islam kepada manusia, baik yang berkaitan dengan ajaran Islam maupun sejarahnya. Ta’lim berarti mengajar, tujuannya menambah pengetahuan orang yang diajar, kegiatannya bersifat promotif yaitu meningkatkan pengetahuan, sedangkan objeknya adalah orang yang masih kurang pengetahuannya.

Sedangkan Tadzkir  berarti mengingatkan dengan tujuan memperbaiki dan meningkatkan pada orang yang lupa terhadap tugasnya sebagai seorang muslim. Oleh karena itu, kegiatan ini bersifat reparatif atau memperbaiki sikap, dan perilaku yang rusak akibat pengaruh lingkungan keluarga dan sosial budaya yang kurang baik, objeknya adalah mereka yang sedang lupa akan tugas dan perannya sebagai muslim.

Sementara Tashwir berarti melukiskan sesuatu pada alam pikiran seseorang, tujuannya membangkitkan pemahaman akan sesuatu melalui penggambaran atau penjelasan. Karena itu, kegiatan ini bersifat propagatif, yaitu menanamkan ajaran agama kepada manusia, sehingga mereka terpengaruh untuk mengikutinya.[2]

Sementara, dalam pengertian istilah, beberapa kalangan seperti Toha Yahya Oemar mengartikan Dakwah sebagai :

upaya mengajak umat dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan di dunia dan akhirat.

Lebih dari itu, Syaikh Ali Makhfudz, dalam kitab Hidayatul Mursyidin memberikan defenisi dakwah sebagai upaya mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan mengikuti petunjuk (hidayah), menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, penulis berkesimpulan bahwa dakwah merupakan proses peningkatan iman dalam diri manusia sesuai syariat Islam. Sehingga Proses yang dimaksud adalah menunjukkan kegiatan yang terus-menerus, berkesinambungan, dan bertahap. Kemudian Peningkatan adalah perubahan kualitas yang positif; dari buruk menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik. Peningkatan iman termanifestasi dalam peningkatan pemahaman, kesadaran, dan perbuatan.[3]

Proses dakwah Islam untuk meraih tujuan yang diharapkan, yakni efektif serta efisien juga memerlukan komponen dakwah yang harus tertata dengan baik dan akurat. Oleh karena itu, Makalah ini membahas beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan ketika menjalankan misi dakwah Islam dalam kehidupan modern dan strategi dakwah yang diterapkan di era modern.

Tujuan dari dakwah adalah untuk mengubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, lebih islami dan lebih sejahtera baik lahir maupun batin (Hafifudin, 1998). Tujuan dakwah seperti itu tampaknya sesuai dengan definisi komunikasi persuasif, percaya bahwa ada perubahan situasi orang lain. Perubahan yang dimaksud bukan hanya perubahan sementara, melainkan perubahan mendasar yang dilandasi oleh hati nurani dan keimanan.

Di zaman modern ini, mengajarkan Islam  bukan lagi kewenangan seorang ulama. Di mana saja, kapan saja dan dengan cara apa saja, masyarakat bisa berdakwah. Bagaimanapun juga, dakwah merupakan tuntutan yang harus dijalankan setiap muslim disertai dengan tanggungjawab dan sepenuh hati, hingga menjadi kebiasaan yang berlanjut dari waktu ke waktu.

Dakwah termasuk tugas mulia bagi setiap muslim sebgai bentuk mengikuti segala sesuatu yang diperintahkan kepada Allah dengan menyebarkan ajaran agama Allah kepada seluruh umat manusia dari kemuliaan dan ketinggian agama-Nya.

Pelaksanaan dakwah berdasarkan pada Al-Qur’an, hadist, dan ijma’. Diantara ayat Al-Quran yang sering kali di jadikan landasan dakwah yaitu surat Ali’ Imron: 104,

[1] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 1.

[2] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah.

[3] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2009), 20.

 

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari ynga mungkar, merekalah orang-orang yang bergantung”.

 Dalam Surat Ali ‘Imran; 110

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dn mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

 Dalam pelaksanaannya, Dakwah yang bertujuan untuk mengajak ke jalan Allah merupakan perintah secara umum kepada Umat islam yang tentunya memiliki metode dalam meyampaikan ajakan kepada sesama. Metode tersebut diterapkan melalui hikmah ayat yang lain dalam Alquran, Allah memberikan pedoman atau Metode berdakwah atau bisa disebut dengan ajakan ke jalan Allah diterapkan melalui hikmah, mau’idah hasanah dan mujdah billati hiya ahsan, perintah ini tertuang dalam surat An-Nahl; 125,

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

Serulah ( manusia ) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siyapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang kebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk

Dakwah sebagai kewajiban dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas setiap manusia. Dakwah yang memiliki arti upaya menyeru dan mengajak seluruh manusia untuk menuju jalan Allah SWT (sistem Islam) sesuai dengan ajaran Islam dan spiritualitasnya secara menyeluruh, melalui kegiatan cermah, tulisan dan kegiatan akal serta tindakan, sebagai langkah mewujudkan ajaran kebaikan serta kebenaran yang luas berdasarkan dengan landasan Islam.

Saat ini metode dan teknik dakwah yang semakin berkembang seiring dengan perubahan ruang dan waktu, namun prinsipnya tetap pada masyarakat Islam. masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka; masyarakat di mana dakwah amar ma’ruf nahi munkar dapat berkembang dan melakukan apa yang seharusnya. Berbagai upaya penyebaran dakwah sangat erat kaitannya dengan perubahan yang dialami manusia, tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan manusia menguasai, mengelola dan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan umat manusia. , agar dakwah Islam diterima oleh semua kalangan manusia.

C. Pengertian Transformasi Sosial (Perubahan Sosial)

Transformasi dapat berupa perubahan rupa, bentuk (sifat dsb);[1] Kata transformasi berasal dari bahasa latin “transformare”, yang artinya mengubah bentuk. Menurut pendapat S. Wojowasito dan Tito Wasito ”transformasi” berasal dari kata “formation” (Inggris) berarti bentuk. Secara etimologi (lughawy) Komaruddin dalam bukunya Kamus Riset menyebutkan bahwa transformasi adalah “perubahan bentuk atau struktur, (konversi dari suatu bentuk ke bentuk yang lain)”.[2]

Secara terminologi (istilah) kata transformasi memiliki multi-interpretasi. Keberagaman tersebut dikarenakan berbedanya sudut pandang dan kajian. Sebagai bahan kajian disodorkan beberapa pendapat dan pandangan para pakar. Pengertian mengenai istilah transformasi sebagaimana yang diungkapkan Dawam Raharjo, yaitu Transformasi berkaitan dengan pengertian yang menyangkut perubahan mendasar berskala besar dalam masyarakat dunia, yang beralih dari tahap masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.

Sedangkan perkataan “sosial” adalah berkenaan dengan masyarakat.[3] Jadi transformasi sosial dapat dipahami sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Masyarakat dapat dipahami sebagai segala

kesatuan sosial yang tergabung dalam bentuk bagian-bagian dalam sebuah masyarakat maupun dalam suatu paham yang disebut dengan lingkungan sosial, pergaulan hidup manusia.[1]

Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, di mana semua tingkat kehidupan masyarakat secara sukarela atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola-pola kehidupan, budaya, dan sistem social baru.[2] Perubahan sosial juga, dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial.[3]

Menurut Ibnu Khaldun, sistem sosial manusia berubah mengikuti kemampuannya berpikir, keadaan muka bumi perserikatan mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi, serta jiwa manusia itu sendiri.

Selanjutnya Ibnu Khaldun mengatakan institusi masyarakat berkembang mengikuti tahapnya dengan tertib  bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran. Oleh karena itu, perubahan sosial merupakan perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun imaterial yang menekankan adanya pengaruh besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur imaterial.

Perubahan sosial (social change) adalah terminologi inti bahasan dari sebuah disiplin ilmu Sosiologi. Term ini mengacu kepada dinamika kehi­dup­an individu baik saat berhubungan dengan sesama maupun saat ber­hu­bungan dengan alam sekitarnya. Perubahan sosial diyakini oleh para ahli dalam perspektif yang beragam.

Perubahan sosial dapat dikatakan sebagai suatu perubahan dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat; dimulai dari yang bersifat individual hingga yang lebih kompleks. Juga perubahan sosial dapat dilihat dari segi gejala-gejala terganggungnya kesinambungan di antara kesatuan sosial, walaupun keadaannya relatif kecil.

Perubahan ini, meliputi: struktur, fungsi, nilai, norma, pranata, dan semua aspek yang dihasilkan dari interaksi antarmanusia, organisasi atau komunitas, termasuk perubahan dalam hal budaya.[4] Dengan demikian, perubahan social merupakan suatu perubahan menuju keadaan baru yang berbeda dari keadaan sebelumnya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa transformasi sosial adalah perubahan mendasar dari suatu masyarakat kepada situasi yang lain yang berdimensi positif.

[1] A. Lysen, Individu and Gemeenschap, dialih bahasan dengan jdul Individu dan Masyarakat, (Cet. Ke-19; Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 14-15.

[2] H. M. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2007), 91.

[3] Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, Dan Psikolonial (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 2.

[4] AB Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah, 181.

[1]  Lihat Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. h. 959

[2].Rusman Faoz, Transformasi Nilai-Nilai Keagamaan Pada Masyarakat Industri. http://pendidikanislamfaoz.blogspot.com/2009/03/transformasi-nilai-nilai keagamaan-pada.html, (7 Agustus 2012).

[3] Lihat Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 855

D. Konsepsi Perubahan Sosial

Dalam penjelasan mengenai masyarakat Islam, tampak jelas bahwa ada situasi yang terbuka bagi munculnya sebuah gejala sosial yang mengarah kepada terjadinya perubahan baik dalam struktur maupun kultur ma­sya­rakat tersebut. Gejala itu tentu saja sifatnya alami dan berjalan normal yang fungsinya untuk mendukung bagi kelangsungan sebuah sistem masyarakat itu.

Auguste Comte (1877), misalnya, meyakini bahwa kehidupan manusia itu berjalan di atas hukum-hukum yang sudah pasti, baku, tetap, dan tiada toleransi untuk perubahan. Senada dengan itu, Herbert Spencer (1892) meyakini bahwa struktur sosial berjalan secara evolusioner ke arah ukuran yang lebih besar, kemajemukan, keter­paduan dan kepastian, sehingga suatu masyarakat menjadi suatu bangsa yang beradab (Zainuddin Maliki, 2003:55-66). Sehingga Ada yang meyakini bahwa perubahan itu selalu berjalan dalam konteks yang linear.

Oswald Spengler dan Vilfredo Pareto adalah dua tokoh yang menolak keras ide perubahan sosial yang berjalan secara linear. Keduanya mengajukan analisis bahwa perubahan sosial itu berjalan secara terpisah. Spengler memandang bahwa kebudayaan tumbuh berkembang dan pudar laksana perjalanan sebuah gelombang. Ia mencontohkan tumbuh dan pu­darnya kebudayaan Yunani, Romawi, dan Mesir, yang kemudian meng­antarkannya pada kesimpulan bahwa kebudayaan Barat pun akan menga­lami nasib yang sama.

Sementara bagi Pareto tiap masyarakat memiliki dua lapisan, yaitu lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non elite) yang berkuasa dan yang tidak berkuasa. Ia menyebutkan bahwa sistem aristokrasi yang tengah berjalan akan selalu berubah dan diganti oleh sistem aristokrasi yang berasal dari lapisan bawah. Mereka yang berusaha mempertahankan kekua­sannya akan digulingkan oleh kelompok lapisan bawah, baik dengan jalan reformasi atau revolusi.

Selain itu, para sosiolog pun memiliki penekanan yang berbeda dalam memandang terjadinya perubahan sosial. Ada yang menekankan perubahan pada stuktur sosial, ada yang menekankan pada struktur perilaku individu masyarakatnya, dan ada juga yang menekankan pada keduanya, dimana perubahan terjadi ketika kedua struktur itu saling mempengaruhi. Untuk yang pertama (struktur masyarakat) ini diwakili oleh Emile Durkheim (1857-1917). Ia memandang bahwa fakta sosial (social fact) bukan terletak pada prinsip-prinsip psikologi pada setiap level individu, tapi terletak pada ma­syarakat.

Sementara untuk yang kedua (struktur individu) diwakili oleh Max Weber (1864-1920). Ia memandang bahwa fakta sosial terletak pada perilaku-perilaku individu. Perilaku inilah yang mempengaruhi struktur dan sistem di masyarakat. Tidak salah bila kemudian dalam menjelaskan pengaruh tin­dakan individu terhadap masyarakat ia memperkenalkan Teori Tindakan Sosial yang cukup populer (rasionalitas instrumental, rasionalitas berorientasi nilai, tradisional, dan afektif).

Adapun yang terakhir (struktur individu-struktur masyarakat) ini diwakili oleh George Simmel (1858-1918). Menurutnya, ma­syarakat adalah gejala yang dinamis. Individu berada di dalam ma­syarakat bukan seperti burung di dalam kurungannya, melainkan ia bermasyarakat. Individu menegakkan masyarakat dan bertanggung jawb atas keadaannya, dan masyarakat berperan sedemikian di dalam diri individu, hingga eksis­tensinya sebagai manusia tergantung dari padanya (K.J. Veeger, 1985:14).

Dalam konteks saat ini, proses-proses pada perubahan-perubahan sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu (Soerjono Soekanto, 2003:310-311), antara lain:

  1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau secara cepat.
  2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu, akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. Karena lembaga-lembaga sosial tadi sifatnya interdependen, maka sulit sekali untuk mengisolasi perubahan pada lembaga-lembaga sosial tertentu saja. Proses awal dan proses-proses selanjutnya meru­pakan suatu mata rantai.
  3. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam prses penyesuaian diri. Disorganisasi akan diikuti oleh suatu reorganisasi yang mencakup pemantapan kaidah-kaidah dan nilai-nilai lain yang baru.
  4. Perubahan-perubahan tidak dapat dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang spiritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal balik yang sangat kuat.
  5. Secara tipologis, perubahan-perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai: social process, segmentation, structural change, dan change in group structure .

Dalam konteks ini, Islam mengafirmasi terjadinya perubahan sosial. Dalam al-Quran disebutkan ada dua syarat pokok untuk terjadinya perubah­an sosial: (a) adanya nilai atau ide; dan (b) adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut (Quraish Shihab, 1992:246).

Dengan demikian, perubahan sosial adalah fitrah dari manusia yang selalu cenderung pada kebaikan. Hadis Nabi menyebutkan bahwa seorang yang beruntung adalah orang yang lebih baik di hari sekarang dibanding hari kemarin. Artinya hadis ini mengajarkan kepada setiap individu ma­syarakat untuk terus melakukan perubahan eksistensi dirinya guna menuju cita-cita kebaikan yang lebih sempurna. Perubahan itu bisa dimulai dari perilaku sehari-hari di keluarga, sekolah, maupun di masyarakat.

E. Pola atau Strategi Dakwah Dalam Keberagamaan Sosial

  1. Pemaknaan Istilah Strategi.

Perkataan strategi pada mulanya dihubungkan dengan operasi militer dalam skala besar-besaran. Oleh sebab itu, strategi dapat berarti “ilmu tentang perencanaan dan pengarahan operasi militer secara besar-besaran”.[1] Di samping itu dapat pula berarti “kemampuan yang terampil dalam menangani dan merencanakan sesuatu”. Sedangkan tujuan suatu strategi ialah untuk merebut kemenangan atau meraih suatu hasil yang diinginkan.

Kata “strategi” adalah turunan dari kata dalam bahasa Yunani strategos. Adapun strategos dapat diterjemahkan sebagai “komandan militer” pada zaman demokrasi Athena.[2] Istilah strategi dipakai dalam perspektif militer sejak zaman kejayaan Yunani-Romawi sampai masa industrialisasi. Kemudian istilah strategi meluas ke berbagai aspek kegiatan masyarakat, termasuk dalam bidang komunikasi dan dakwah. Hal ini penting karena dakwah bertujuan melakukan perubahan terencana dalam masyarakat dan hal ini telah berlangsung lebih dari seribu tahun lamanya.[3]

Sedangkan Samiang Katu menyadari perlunya taktik dan strategi dalam usaha mencapai tujuan, termasuk menyebarluaskan informasi atau ajaran agama (dakwah), maka pemahaman tentang taktik dan strategi merpakan hal yang tidak boleh diabaaikan.[4]

Menurut Ricky W. Griffin, strategy is comprehensive plan for accomplishing an orgnaization’s goal (strategi adalah rencana komprehensif untuk mencapai tujuan organisasi).[5]

  1. Pemaknaan Istilah Dakwah dan Strategi Dakwah.

Dakwah merupakan suatu gerakan dalam berbagai sektor, baik sektor agama, pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial budaya dan politik. Dakwah sebagai sebuah kegiatan yang sudah menjadi kewajiban umat Islam, dengan segenap dimensi sosial yang mendasarinya, dalam pelaksanaannya sebagai sebuah aksi membuat dakwah dengan beragam pola.

Oleh karena itu, dalam kajian sosiologi ada dua teori yang biasa digunakan sebagai media untuk mencoba menggali dan mengetahui tentang bagaimana pola-pola dakwah yang dilakukan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan dakwah yang berlandaskan ajaran keagamaan, yakni teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.

Menurut teori fungsionalisme struktural melihat masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan, sementara teori konflik malah sebaliknya, teori konflik cenderung mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang cenderung mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik, mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Dengan demikian, masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.

Kedudukan dakwah dalam Alquran dan sunah menempati posisi yang utama, sentral, strategis dan menentukan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan kegiatan dakwah masalah materi maupun metode yang tepat menjadi masalah yang tidak boleh diabaikan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan operasional dakwah. Dakwah yang dilakukan sering tidak membawa perubahan apa-apa, pada hal tujuan dakwah adalah mengubah masyarakat sasaran dakwah ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera lahir dan batin.[6]

Menurut Kunto strategi dakwah harus dikaitkan dengan masyarakat yang makin modern dengan melakukan pemahaman dan penyegaran kembali pengertian dakwah. Dengan demikian strategi dakwah merupakan perpaduan dari perencanaan (planning) dan management dakwah untuk mencapai suatu tujuan[7].

Di dalam mencapai tujuan tersebut strategi dakwah harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya secara tekhnik (taktik) harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu bergantung pada situasi dan kondisi.

Kuntowijoyo dan Abdul Munir Mulkhan memiliki pandangan yang sama tentang strategi dakwah. Namun gagasan dakwah sebaiknya muncul terus secara kreatif sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian pada dai dan pemikir-pemikir Islam dalam berdakwah berkewajiban menggarap masalah-masalah yang dihadapi umat. Pandangan, pikiran, dan hati mereka diupayakan dapat berperan memikul sebagian beban keprihatinan umat.

Gagasan strategi dakwah di Indonesia juga pernah ditulis oleh Abdul Munir Mulkhan, antara lain sebagai berikut:

  1. Peninjauan kembali pendekatan dakwah dengan upaya sentral perencanaan dakwah yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah yang dihadapi umat.
  2. Pergeseran medan dakwah (model komunikasi dakwah) konversional, yaitu tabligh dalam makna sempit menjadi dakwah yang “multi-dialog” (dialog amal, dialog seni, dialog intelektual, dialog budaya).
  3. Melakukan pendekatan positif konstruktif terhadap obyek dakwah yang “abangan”, dengan menghilangkan “jarak” psikologis maupun budaya yang ada.
  4. Mengembangkan sistem informasi yang mampu menjangkau umat secara luas dan menumbuhkan komunikasi yang efektif.[8]

Strategi umum dalam bidang dakwah terbagi atas beberapa bagian yaitu :

  1. Strategi umum.

Strategi umum ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu:

  1. Meningkatkan pemahaman dan penghayatan aqidah Islamiyah dikalangan warga persyarikatan dan umat, sehingga mampu menumbuhkan pemikiran dan perilaku yang Islami, dalam hal ini perlu mendahulukan (memprerioritaskan) pembinaan Aqidah disamping aspek yang lain.
  2. Mengembangkan kesadaran dikalangan persyarikatan dan umat, terutama para pemimpin tentang tiga tantangan utama yang dihadapi dakwah islamiyah, sekularisasi, kristenisasi, nativisasi. Meningkatkan sensitivitas umat terhadap perjuangan/dakwah, termasuk meningkatkan komitmennya terhadap perjuangan.
  3. Meningkatkan dan membisaakan mekanisme perencanaan dan pengorganisasian kegiatan dakwah setiap eselon kepemimpinan pada persyarikatan.
  4. Mendudukkan kedudukan kegiatan salibisasi di Indonesia, dalam segala bentuknya, sebagai “masalah serius“ bersama yang perlu dihadapi oleh seluruh kekuatan dakwah dalam “bidang garap bersama“. Dengan cara penyamaan persepsi dan penyusunan perencanaan kegiatan “counter” bersama. Dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan itu perlu digali dan ditingkatkan validitasnya serta dimasyarakatkan.
  5. Mengembangkan sistem informasi yang mampu menjangkau warga persyarikatan dan umat secara luas dan menumbuhkan komunikasi yang efektif.

[1] Lihat Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit, h. 964.

[2] Tim Wikipedia Indonesia, Pengertian Strategi, http://id.wikipedia.org,” tanggal 12 Mei 2008.

[3] Lihat Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi (Cet. I; Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 227.

[4] Samiang Katu, Taktik dan Strategi Dakwah di Era Millenium (Studi Kritis Gerakan Dakwah Jammah Tablig),((Cet. II; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 28.

[5] Ricky W. Griffin, Manajemen, jilid I (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 226. Lihat juga Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Ed. 1.Cet. II; Jakarta: Kencana, 2006), h. 132.

[6] Simak Didin Hafidhuddin dalam Adi Sasono, et all., Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 175.

[7] Noor Rizqon Arief, Manajemen Organisasi. (Diklat Perencanaan Tambang Terbuka Unisba, 30 Agustus – 07 September 2004), h. 2

[8] Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: SIPRES, 1996), h. 213-214. Pertama kali diterbitkan oleh PP. Muhammadiyah Majlis Tabligh Yogyakarta, 1986 di bawah judul “Dialog Dakwah Nasional”.

F. Dampak Perubahan Sosial Terhadap Dakwah

Perubahan sosial telah memperlihatkan dampaknya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Perubahan yang mendatangkan dampak positif bisa diterima dan perlu untuk dimanfaatkan seterusnya. Tetapi menyikapi dampak perubahan yang bersifat negatif diperlukan berbagai pendekatan dalam mengantisipasinya. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah pendekatan keagamaan, melalui kegitan dakwah. Dakwah yang dimaksud bukan hanya yang bersifat monoton melalui mimbar-mimbar saja. Tetapi dakwah kreatif sangat diperlukan. Dakwah kreatif yang bersifat inovatif, menyesuaikan dengan kebutuhan manusia masa kini.

Menurut Alvin Toffler dalam The Third Wave, abad yang kita masuki sekarang adalah abad perubahan manusia dari gelombang pertama, kedua, menuju gelombang perubahan ketiga. Pada masa peradaban ketiga ini, bentuk manifestasi yang paling jelas adalah perkembangan dalam sains dan teknologi, revolusi komunikasi, revolusi informasi, dan revolusi sosial.[1]

Oleh karena itu, dampak perubahan sosial di masyarakat, perlu diikuti adanya penyesuaian baik unsur masyarakat maupun unsur baru. Hal demikian sering disebut sebagai integrasi sosial. Karenanya, unsur yang saling berbeda dapat saling menyesuaikan diri. Sebagai sebuah negara, Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa untuk dapat saling menyesuaikan diri. Dengan demikian, dengan adanya integrasi sosial akan tercipta integrasi nasional Indonesia.

Menghadapi objek dakwah yang berada dalam kondisi trasisi, da’I harus mampu menginterpretasikan dakwah sebagai gerakan moral dan gerakan kebudayaan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw empat belas abad yang silam.Dakwah Islam berfungsi sebagai trasformator sosial budaya yang berakar pada keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid) dan mempunyai tujuan secara kuantitatif. Nabi mampumenciptakan masyarakat yang sadar akan perlakuannya selama ini sebagai hasil dari mereduksi terhadap budaya Barat sehingga perlu ditransformasikan ke wilayah Islam.[2]

Di samping itu, dampak perubahan sosial juga memunculkan disintegrasi sosial. Disintegrasi sosial sering diartikan sebagai proses terpecahnya suatu kelompok sosial menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah menjadi beberapa unit sosial yang terpisah satu sama lain. Oleh karena itu, proses ini terjadi akibat hilangnya ikatan kolektif yang mempersatukan anggota kelompok satu sama lain.[3]

Aktualisasi sistem dakwah disertai dengan serangkaian masalah yang kompleks, pertama, ketika dakwah Islam dicanagkan dalam masyarakat yang belum Islam pesan Islam oleh masyarakat setempat dipandang asing/pendatang. Yang kemudian, penerimaan terhadap pesan dakwah dibarengi dengan sikap kritis berupa penilaia: apakah Islam “sejalan dengan apa yang telah dimiliki atau bahkan bertentangan secara diametral”. Oleh karena itu, di sini dakwah dihadapkan dengan pilihan yang kadang kala dapat mengaburkan pesan itu sendiri. Sinkritisme baik dalam bentuk lama maupun yang baru menyangkut kebijaksanaan da’i dalam mengatasi pilihan ini.

Yang kedua, pemilikan Islam sebagai hasil dari kegiatan dakwah ternyata berjalan secara lambat atau justru juga cepat. Ketika Islam mulai dipeluk dan kenyataan sosial baru menampakkan diri, kemudian penghayatan terhadap ajaran Islam oleh para pemeluknya mulai mendapat tantangan baru yaitu dengan adanya keterbatasan dalam menangkap serta kemampuan memberika kerangka terhadap kenyataan baru berdasarkan ajaran Islam dapat melahirkan sikap atau anggapan bahwa Islam tidak memiliki relevansi dengan kenyataan yang ada.

Ketiga, ketika perubahan sosiokultural semakin kompleks menyebabkan masalah kemanusiaan semakin meluas, dakwah Islam dihadapkan dengan keharusan memberikan jawaban terhadap kepentingan berbagai segi dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, lembaga dakwah secara kelembagaan harus dilakukan penataan kembali, perumusan pesan harus ditinjau kembali, penanganan masalah secara keseluruhan sistem dakwah harus ditinjau kembali baik efektifitas, efisiensi, maupun jangkauan penanganan masalah yang dihadapi.

Dakwah mengemban peran untuk memulihkan keseimbangan, mengarahkan pembebasan, persaingan ataupun tampak dinamika  budaya yang lain, sekaligus meletakkan pola dakwah dalam berbagai perspektif, termasuk perspektif kultural. Dakwah pada wilayah ini, berfungsi sebagai agent of social change. Dakwah dalam wilayah ini menjadi pusat atau sentral setiap perubahan sosial, ia mengarahkan dan memberikan alternatif padanya, ia memanfaatkan budaya yang ada dan memolesnya dengan warna yang Islami.

Oleh karena itu, tanpa upaya yang berkesinambungan dalam pemikiran sistem dakwah, Islam semakin tidak mengakar dalam sistem sosial budaya.

[1] Lukman S. Tahir, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, Dan Sejarah,

145.

[2] Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 2, hlm. 224.

[3] AB Syamsuddin, Pengantar Sosiologi Dakwah, 214.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Syamsuddin, AB.:Pengantar Sosiologi Dakwah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016), hal.179.
  • Saputra, Wahidin : “ Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 1.
  • Aziz, Moh. Ali. : “Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2009), 20.
  • Lysen, A.: “Individu and Gemeenschap, dialih bahasan dengan jdul Individu dan Masyarakat, (Cet. Ke-19; Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 14-15.
  • H Bungin, . M. Burhan. : “Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2007), 91.
  • Martono, Nanang. : “Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, Dan Psikolonial (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), 2.
  • Tim Wikipedia Indonesia : “Pengertian Strategi, http://id.wikipedia.org,” tanggal 12 Mei 2008.
  • Arifin, Anwar : “Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi (Cet. I; Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 227.
  • Katu, Samiang. : “Taktik dan Strategi Dakwah di Era Millenium (Studi Kritis Gerakan Dakwah Jammah Tablig),((Cet. II; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 28.
  • Griffin, Ricky W. : “Manajemen, jilid I (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 226.
  • Tisnawati Sule, Ernie dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Ed. 1.Cet. II; Jakarta: Kencana, 2006), h. 132.
  • Hafidhuddin, Didin : dalam Adi Sasono, et all., Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 175.
  • Arief, Noor Rizqon : Manajemen Organisasi. (Diklat Perencanaan Tambang Terbuka Unisba, 30 Agustus – 07 September 2004), h. 2.
  • Mulkhan, Abdul Munir : Ideologisasi Gerakan Dakwah, (Yogyakarta: SIPRES, 1996), h. 213-214. Pertama kali diterbitkan oleh PP. Muhammadiyah Majlis Tabligh Yogyakarta, 1986 di bawah judul “Dialog Dakwah Nasional”.
  • Tahir, Lukman S. : Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, Dan Sejarah, hal.145.
  • Amin, Samsul Munir : Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 2, 224.