SANANA– Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Babussalam Sula Maluku Utara menjalin kerja sama dengan pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku Utara yang disepakati pada 7 Juni 2023, di ruang Auditorium STAI Babussalam Sula.
Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) ini dilakukan dengan menghadirkan Dosen dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, Asep Hedi Turmudi, S.Ag., MA, sekaligus Wakil Sekretaris Majelis Ulama Indonesia ( MUI) Provinsi Maluku Utara.
Kegiatan ini dirangkaikan dengan kuliah tamu bertema “Fatwa MUI dalam Menjawab Issue-issue Kontemporer di Maluku Utara” dengan Asep Hedi Turmudi, S.Ag., MA sebagai narasumber, dan dipandu langsung oleh Wakil I, STAI Babussalam Sula, Mohtar Umasugi, S.Ag., M.Pd.I.
Kuliah tamu tersebut dihadiri Ketua STAI Babussalam Sula Maluku Utara, Sahrul Takim, S.Pd.I., M.Pd.I, Wakil Ketua III Amirudin Yakseb, SH., MH. Peserta lainnya para dosen dan mahasiswa di STAI Babussalam Sula.
Ketua STAI Babussalam Sula Maluku Utara, Sahrul Takim, dalam sambutannya menyampaikan selamat datang kembali kepada bapak Asep Hedi Turmudi di STAI Babussalam Sula Maluku Utara.
“Pak Asep ini adalah orang yang turut berkontribusi dalam perjalanan kampus ini. Beliau dulu pernah menjadi tim penguji untuk mahasiswa baru angkatan pertama, bahkan juga pernah mendampingi assesor kala itu, ketika akreditasi pertama untuk prodi studi Akhwal Al-Syaksiyah. Rasanya kurang jika lembaran sejarah perjalanan STAI Babussalam Sula Maluku Utara tidak tertulis nama Bapak Asep Hedi Turmudi”, tutur Sahrul.
Sahrul bilang, di era globalisasi saat ini menunjukkan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi namun dilain sisi memunculkan persoalan-persoalan baru yang berdampak pada perubahan cara pandang masyarakat. Mulai bermunculan isu-isu kontemporer saat ini, menuntut untuk harus mendapatkan penyelesaian dalam konteks kekinian agar masyarakat bisa melaksanakan Ibadah dengan tenang dan adanya kepastian hukum.
Menurutnya, MUI secara kelembagaan hadir meneguhkan posisinya sebagai wadah silaturahmi musyawarah ulama, zuama dan cendekiawan Muslim, untuk menyatukan gerak, langkah, serta meningkatkan partisipasi umat Islam dalam pembangunan untuk mewujudkan cita-cita bersama.
“Keberadaan MUI selalu identik dengan fatwa. Karena salah satu peran MUI adalah sebagai pemberi fatwa. MUI memiliki kewenangan menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah syari’ah secara umum, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun akhlak dengan senantiasa menjunjung tinggi asas kebenaran dan kemurnian pengamalan agama oleh umat Islam di Maluku Utara, Khususnya di Kepulauan Sula. Kewenangan penetapan fatwa juga meliputi paham keagamaan yang muncul di masyarakat, masalah sosial kemasyarakatan, masalah pangan obat-obatan, masalah yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta masalah ekonomi syariah,” paparnya.
Terpisah, dalam perkuliahan, Asep Hedi Turmudi mengatakan, eksistensi fatwa dalam perspektif otoritas hukum Islam. Ketika mengkaji eksistensi fatwa dalam perspektif otoritas hukum Islam, maka yang didapatkan adalah fatwa sebagai “penjelas” dan “penjabaran” dari nash-nash di dalam hukum Islam.
Sebab kata dia, fatwa mengikat bagi umat Islam yang telah diwajibkan tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum Islam. Bagi seseorang yang mengaku beragama Islam, berdasarkan teori penerimaan otoritas hukum Islam, wajib baginya untuk tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum Islam. Hanya saja sebut Asep, ketentuan hukum Islam yang bersumber langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis seringkali tidak dapat dipahami secara langsung oleh sebagian umat Islam.
“Seperti adanya ayat-ayat yang mutasyabihat, maupun adanya ayat-ayat yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan dari para ahli hukum Islam. Fatwa sebagai drop down dari nash yang lebih tinggi merupakan “sumber” solusi bagi umat Islam dalam mengambil tindakan yang berakibat hukum. Oleh sebab itu, ditinjau dari aspek substantif sosiologis, fatwa bersifat mengikat kepada umat Islam,” beber Asep.
Diutarakan Asep bahwa kedudukan fatwa dalam konstruksi hukum Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Fatwa dipandang sebagai solusi yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum yang tidak terakomodasi dengan nash-nash. “Nash-nash keagamaan telah terhenti secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin berkembang pesat dengan perkembangan zaman. Dalam kondisi seperti ini fatwa menjadi solusi dalam mengurai permasalahan yang berorientasi kepada kemaslahatan. Sehingga, secara substantif sosiologis, fatwa memiliki kedudukan yang kuat dan mengikat dalam hukum Islam”